Pada prinsipnya tidak akan pernah terjadi ‘kisruh’ pupuk subsidi di kabupaten Bima, baik itu persoalan harga maupun kelangkaan.
Pasalnya, untuk dua persoalan krusial ini telah banyak ketentuan yang mengatur, mulai dari Kepmen, Pergub hingga keputusan Bupati, namun setiap komponen yang terkait subsidi pupuk ini yang memang terkesan sengaja membuat celah terjadinya kisruh.
Komponen-komponen ini memiliki peran sesuai dengan kapasitasnya, mulai dari Petani, Pengecer, Distributor bahkan Dinas terkait. Sengaja membangun spekulasi untuk kepentingannya.
Petani (khususnya yang memiliki daya beli) tidak pernah mau mengerti batas hak atas subsidi yang terang diatur sesuai angka RDKK, bahkan mengajak pengecer berkonspirasi dengan sistim pembelian diatas harga subsidi, akibatnya yang lain tidak kebagian jatah pupuk subsidi dengan alasan kurang pasokan dan lain-lain.
Pengecer, selain mampu membangun konspirasi dengan oknum masyarakat untuk menjual diatas harga, juga sengaja menaikkan harga pupuk dengan berbagai alasan diantaranya ada biaya tambahan buruh bongkar muat, menyisipkan pupuk non subsidi dalam bentuk keharusan untuk pembelian satu paket sehingga daya jangkau petani berkurang.
Distributor juga memiliki kontribusi besar terhadap gejolak yang ada khususnya tahun ini, muncul aksi protes petani di berbagai wilayah berawal dari campur tangan distributor.
Santer di tengah petani nyanyian pengecer yang mengatasnamakan instruksi Distributor kewajiban untuk menjual paketan, satu sak urea 95 ribu harus dibeli bersama 10 KG NPK Pelangi (non subsidi) 65 ribu rupiah sehingga harga yang harus dibayar petani sebesar 170 ribu (Ini di wilayah Monta Dalam, sementara wilayah lain juga sama dengan harga berfariasi bahkan mencapai angka 200rb), yang tentunya bagi kebanyakan petani harga ini sangat mahal, disamping kebiasaan petani Bima hanya bergantung pada pupuk urea, juga kewajiban membayar 10 kg NPK ini dianggap berlebihan.
Dari sinilah Kisruh itu bermula, pengecer kesannya ditekan pihak distributor untuk harus menerapkan sistim penjualan tersebut apapun alasannya, karena jika tidak maka ijinnya sebagai pengecer akan dicabut, untuk memuluskan rencana bulusnya ini distributor mengikat pengecer dengan surat perjanjian kerja atau surat pernyataan.
Lemahnya sistim pengawasan pemerintah dalam hal ini dinas terkait juga berpotensi munculnya spekulasi diatas, pemerintah dengan melahirkan peraturan dan surat edaran atau sejenisnya menganggap mampu menjawab semuanya, padahal penerapannya harus disokong juga dengan monitoring, pengawasan dan pengawalan yang ketat.
Karena tanpa pengawasan intensif dan intervensi pemerintah, Petani, Pengecer dan Distributor akan menentukan langkah sendiri sesuai kepentingannya.*)