Site icon Jerat NTB

Polemik Jembatan Lewa Mori, Dua Senator Bima “Perang Urat”

Bima, JeratNTB.com – Rencana pembangunan Jembatan Lewa Mori semakin kuat. Jembatan yang sudah digagas sejak 12 tahun lalu saat Bupati Bima H Syafrudin HM Nur itu, kini kembali hangat diperbincangkan. Dua legislator asal Bima pun kini saling adu argumen terkait polemik mega proyek yang akan dibangun di wilayah Kalaki, Bima tersebut.

Pro kontra antara anggota DPR RI Mori Hanafi dan anggota DPRD Provinsi NTB Harwoto semakin memanaskan isu pembangunan jembatan yang melintas di atas laut tersebut.

Rencana pembangunan jembatan penghubung Kota Bima dan Kecamatan Bolo ini pertama kali digagas oleh Mori Hanafi pada acara dialog publik 22 Oktober 2025 lalu di Mataram. Menurut Mori Hanafi, rencana tersebut sudah disertai desain rancang bangun, market, serta rancangan anggaran, bahkan telah melibatkan Tim Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTB.

Tujuan utama pembangunan jembatan ini adalah untuk memperpendek jarak tempuh antara Kota Bima dan wilayah barat Kabupaten Bima seperti Kecamatan Bolo dan Soromandi, sehingga dapat memperlancar mobilitas masyarakat dan distribusi ekonomi antarwilayah.

Meski demikian, anggota DPRD NTB Harwoto, Punya cara pandang lain dalam menyikapi rencana pembangunan jebatan tersebut. Harwoto meminta agar proyek itu ditinjau ulang. Duta Golkar itu menilai, pembangunan jembatan tersebut belum menjadi kebutuhan mendesak, sementara masih banyak sektor lain yang lebih prioritas untuk diperhatikan dari sisi sosial dan ekonomi.

Harwoto malah menyoroti satu hal krusial yang perlu mendapat perhatian serius yakni letak jembatan yang hanya berjarak sekitar 1.300 meter dari ujung landasan pacu (runway) Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima. Secara teknis penerbangan, zona aman di sekitar runway minimal 3.000 meter dari ujung landasan harus bebas dari bangunan tinggi atau struktur besar seperti jembatan.

Jika jembatan tersebut tetap dibangun di lokasi yang direncanakan, ada potensi gangguan aerodinamika (downwind effect). Aliran angin yang memantul dari bawah struktur jembatan dapat menciptakan arus turbulensi yang berbahaya bagi pesawat yang hendak mendarat. Fenomena “Down Wind” ini berpotensi menghantam bagian ekor pesawat dan menyebabkan pesawat kehilangan stabilitas—kondisi yang sangat berisiko, apalagi jika kecepatan angin di kawasan itu mencapai 6–9 knot.

Sebagai perbandingan, insiden pesawat Lion Air di Bandara Ngurah Rai Bali pernah disebabkan oleh perubahan arah dan kekuatan angin saat mendekati landasan.

Pro kontra dua argumen dua legislator terbaik putra Kecamatan Belo ini memang cukup beralasan dan perlu adanya dialog hingga kajian teknik secara bersama dengan melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk Bandara Bima.

Sebab, keberadaan jembatan di dekat bandara juga bisa membatasi rencana ekspansi Bandara Bima di masa depan. Jika ke depan bandara ini akan diperluas agar mampu didarati pesawat berbadan besar seperti Boeing atau Airbus, maka keberadaan jembatan yang berjarak hanya 1.300 meter dari runway akan menjadi hambatan.

Padahal, saat ini intensitas penerbangan di Bandara Bima sudah meningkat, sementara harga tiket rute Bima–Lombok, Bima–Bali, dan Bima–Jakarta terbilang cukup tinggi karena terbatasnya jadwal penerbangan dan jenis pesawat yang digunakan. Pengembangan bandara seharusnya menjadi solusi jangka panjang untuk mendukung mobilitas udara dan pertumbuhan ekonomi Bima.

Pembangunan Jembatan Lewa Mori pada dasarnya adalah ide yang baik untuk meningkatkan konektivitas wilayah dan mendukung ekonomi daerah. Namun, aspek keselamatan penerbangan dan potensi pengembangan bandara di masa depan tidak boleh diabaikan.

Pemerintah dan para pengambil kebijakan sebaiknya duduk bersama melakukan kajian menyeluruh dengan mempertimbangkan faktor keselamatan, tata ruang, serta keberlanjutan pembangunan infrastruktur udara dan laut di wilayah Bima. Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan benar-benar membawa manfaat tanpa mengorbankan keselamatan dan masa depan transportasi udara di daerah. (Jr)

Exit mobile version