Oleh: Mujahid A. Latief
Desa
merupakan salah satu bagian terpenting dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jika menilik sejarah eksistensi dan kekuasaan desa sudah ada sebelum
Indonesia terbentuk, hal tersebut diakui secara tegas dalam Penjelasan Pasal 18
UUD 1945 (sebelum perubahan). Lebih lanjut pengaturan mengenai desa juga terus
berkembang dan dilakukan penyempurnaan mulai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah hingga terakhir Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa).
Salah satu hal penting yang diatur dalam UU Desa adalah mengenai Pemilihan
Kepala Desa (Pilkades), setelah berlakunya UU Desa Pilkades tak lagi dilakukan
secara “parsial” namun secara serentak pada hari yang sama di seluruh desa pada
wilayah Kabupaten/Kota yang dalam pelaksanaanya diatur dalam PP Nomor 43 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa dan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014
tentang Pilkades sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 65 Tahun
2017.
Pada 20 Desember 2018 Kabupaten Bima telah melaksanakan Pilkades serentak di 52
Desa yang tersebar di seluruh Kecamatan. Pada tahun 2019 ini Kabupaten Bima
akan kembali menyambut dan melaksanakan Pilkades secara serentak yang akan
diikuti oleh ±82 desa dari 191 desa di seluruh Kabupaten Bima. Artinya tidak
lama lagi masyarakat akan kembali disibukkan dengan ‘pernak pernik’ demokrasi
setelah sebelumnya mengikuti hiruk pikuk dengan Pemilihan Presiden (Pilpres)
dan Pemilihan Legislatif.
Mengenai demokrasi, bangsa ini sebenarnya telah memiliki pengalaman panjang,
setidaknya kita telah melalui empat ‘fase’ demokrasi dengan berbagai versi,
mulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila hingga
demokrasi yang saat ini masih dalam masa “transisi”. Perjalanan panjang
demokrasi tersebut harusnya memberikan pelajaran berharga bagi kita, namun
demikian harus diakui bahwa kualitas demokrasi kita masih jauh dari harapan.
Pilkades kali ini adalah momentum bagi kita -khususnya masyarakat Kabupaten
Bima- untuk memperbaiki semua itu. Hemat kata, jangan sampai kita memaknai
Pilkades hanya sekedar tentang ‘suksesi’ dan perebutan kekuasaan, tapi lebih
dari itu, Pilkades sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat tingkat
lokal adalah tempat kita untuk belajar “mendewasakan diri’ dalam berdemokrasi;
Dewasa dalam berdemokrasi berarti kita sedang berproses menjadi bangsa yang
unggul dan berperadaban sosial yang mapan.
Mari kita sikapi Pilkades dengan hal-hal sebagai berikut: Pertama
belajar memaknai dan memahami bahwa perbedaan dalam pilihan politik sebagai
bagian dari substansi demokrasi, tidak boleh ada tindakan yang dapat untuk
mengungkung kemerdekaan seseorang dalam memilih; Setiap orang merdeka dan bebas
memilih sesuai kehendak dan pilihan politiknya.
Kedua, menjadikan Pilkades sebagai ajang ‘berkompetisi’ secara sehat,
baik oleh kontestan ataupun masyarakat pendukungnya, sehingga yang
tercipta/terbangun adalah semangat persatuan, bukan benih-benih pemusuhan.
Ketiga, Penyelenggara harus berlaku adil dan transparan, serta
memastikan bahwa ‘kedaulatan rakyat’ benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan
perundang-undangan. Lebih dari itu pejabat di pemerintahan berikut aparat
penegak hukum harus bersikap netral dan tidak mencampuri urusan masyarakat
dalam menentukan pilihan.
Keempat, Penyelenggara harus memastikan tersedianya mekanisme penyelesaian
sengketa yang terukur dan transparan di setiap tahapan Pilkades. Hal ini
penting dalam rangka mengkomodasi permasalahan/perselisihan yang timbul,
sehingga hasil Pilkades benar-benar adil dan dapat diterima secara lapang dada
oleh masing-masing pihak.
Begitulah seharusnya kita berdemokrasi, mari kita mulai besama.(