Legal Standing BAWASLU Dalam Mengatasi Tahapan PILKADA 2020

Oleh: ABDURRAHMAN, SH
(Koordinator Divisi Hukum dan Pendidikan Pelanggaran)

Diskursus yang menyoal legalitas Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mengawasi pelaksanaan tahapan Pilkada 2020 tidak terlepas dari dua hal, yakni (1). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013 yang membagi Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota). Rezim Pemilu didasarkan pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945 sedangkan rezim Pemilihan Kepala Daerah didasarkan pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Dengan demikian, rezim Pemilu dan rezim Pilkada adalah dua hal yang berbeda; dan (2). Nomenklatur dan sifat kelembagaan pengawas Pemilu yang berbeda antara nomenklatur dan sifat kelembagaan pengawas Pemilu di UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu. Nomenklatur kelembagaan pengawas Pemilu pada UU Pilkada adalah Panwas Kabupaten/Kota dengan sifat ad-hoch sedangkan nomenklatur kelembagaan pengawas pemilu ditingkat Kabupaten/kota pada UU Pemilu adalah badan dengan sifat permanen. Berkait dengan diskursus tersebut, kami hendak memberikan penjelasan dengan menggunakan kajian historis- sistematis dengan tujuan mendapatkan kejelasan mengenai legalitas Bawaslu Kabupaten/Kota
dalam mengawasi tahapan Pilkada 2020.

Kajian historis-sistematis dalam tulisan ini berangkat dari pemahaman bahwa memahami undang-undang tidak terlepas dari penafsiran-penafsiran sebagaimana telah dilakukan oleh para ahli hukum dalam mendekati dan memahami maksud dan kehendak pembuat UU. Penafsiran historis adalah salah satu cara menafsirkan UU dengan melihat sejarah dibuatnya suatu UU.
Penafsiran historis terdiri dari dua macam, yaitu (a) sejarah hukumnya dan (b) sejarah undang-
undangnya.

Pertama, penafsiran historis berdasarkan sejarah hukumnya, yang diselidiki adalah maksud pembuat undang-undang berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Kedua,
penafsiran historis berdasarkan sejarah undang-undang, yang diselidiki adalah maksud pembuat
undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu. Sedangkan, penafsiran sistematis
adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal lainnya dalam
suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan sehingga dapat dimengerti apa maksud
pembuat undang-undang.

Apakah dengan berbedanya rezim Pemilu dan Pilkada berimplikasi logis terhadap legalitas penyelenggara Pilkada? Jawabnya terlihat pada halaman 54 Putusan MK Nomor
97/PUU-XI/2013 dimana di sana dinyatakan bahwa penyelenggara Pemilu adalah suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Selanjutnya, pada halaman 78
Putusan MK a quo, hakim Mahkamah Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan bahwa “penyelenggara Pemilu adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam perspektif struktur, KPU adalah penyelenggara Pemilu yang diamanatkan dalam pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Penyelenggara pemilihan kepala daerah adalah KPUD yang secara hirarkis kelembagaan merupakan bawahan KPU. Dengan perkataan lain, penyelenggara pemilihan kepala daerah adalah KPU di tingkat daerah yang juga merupakan bagian dari lembaga yang secara hirarkis
bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut bermakna
bahwa penyelenggara Pilkada merupakan penyelenggara Pemilu.

Hal yang sama secara historis –
sistematis, penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) adalah merupakan penyelenggara Pilkada.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 pasal 22D bahwa “Bawaslu memegang tanggung jawab akhir atas pengawasan penyelenggaran pemilihan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwascam, PP, dan pengawas TPS”. Bukti lain yang tidak mempermasalahkan legalitas Panwas kabupaten/kota dan Bawaslu Kabupaten/kota untuk mengawasi tahapan Pemilu dan Pilkada terlihat dari semua Putusan
Mahkamah Konstitusi berkait PHPU di Pemilu 2019 yang tidak menyoal legalitas Panwas kabupaten/kota, yang mana hampir setengah tahapan Pemilu 2019 diawasi oleh Panwas
kabupaten/kota yang dibentuk untuk melaksanakan pengawasan Pilkada 2018.
Selanjutnya, penyamaan Panwas kabupaten/kota dengan Bawaslu kabupaten/kota dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 terlihat pula pada saat seleksi Bawaslu kabupaten/kota dimana Panwas kabupaten/kota
yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 dibukakan seleksi melalui jalur existing
untuk menjadi bawaslu kabupaten/kota.

Hasil seleksi tersebut kemudian dilantik pada bulan Agustus 2018, sementara tahapan Pemilu telah berjalan sejak tahun 2017. Artinya perbedaan nomenklatur Panwas kabupaten/kota dan Bawaslu kabupaten/kota dipahami oleh Mahkamah Konstitusi dan para ahli yang hadir di sidang Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunyalembaga yang sah dan diberi amanat oleh UU untuk melaksanakan pengawasan, baik pemilu maupun pemilihan yang dilaksanakan secara langsung, bebas, jujur, dan adil.

Diskursus selanjutnya menyoal perbedaan nomenklatur dan sifat kelembagaan pengawas
Pemilu di UU Pilkada dan UU Pemilu, seharusnya tidak perlu ada. Karena penyebutan Bawaslu kabupaten/Kota dalam UU Pemilu tidak dapat dipisahakn dari historisnya yang sebelumnya lembaga yang melaksanakan pengawasan Pemilu dan Pilkada di tingkat Kabupaten/Kota adalah Panwas Kabupaten/Kota. Dasar pembentukan pengawas Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota
tersebut adalah UU Nomor 15 Tahun 2011 yang telah dicabut dengan hadirnya UU Nomor 7 tahun 2017.

Secara historis berdasarkan sejarahnya, khususnya berkait kelembagaan penyelenggara Pemilu, kehadiran UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah UU pengganti UU Nomor 15
Tahun 2011. Hal ini sebagaimana disebutkan pada halaman 1 bagian menimbang huruf d disebutkan bahwa UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah penyatuan dari beberapa UU Pemilu termasuk di dalamnya UU Nomor 15 Tahun 2011 yang menjadi dasar hukum legalitas penyelenggara Pemilu dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Selanjutnya, penyebutan Bawaslu Kabupaten/Kota pada Pasal 653 UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan bagian yang tak terpisahkan sekaligus bukti yang menunjukan bahwa secara historis Bawaslu kabupaten/kota yang ada di dalam UU Pemilu adalah metamorfosis dari Panwas kabupaten/kota yang disebutkan dalam UU Pilkada setelah mendapatkan penguatan baik dari
aspek kelembagaan maupun fungsi dan kewenangan serta sifatnya yang menjadi permanen. Hal tersebut sebagaimana disebutkan pada halaman 2 penjelasan UU Nomor 7 Tahun 2017.

Hal lain yang menunjukan bahwa Bawaslu kabupaten/kota adalah metamorfosis dari Panwas
kabupaten/kota dapat dilihat pada tugas dan fungsi Panwas kabupaten/kota dalam UU Pilkada dan tugas dan fungsi Bawaslu kabupaten/kota dalam UU Pemilu yang secara sistematis memiliki substansi adalah sama, yakni lembaga yang melakukan pengawasan, penanganan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses yang terjadi pada seluruh tahapan Pemilu atau Pilkada.

Hal hersebut menunjukan bahwa maksud dan kehendak pembuat undang-undang berkait nomenklatur
lembaga pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota, yang dalam UU Pilkada disebut Panwas kabupaten/kota dan dalam UU Pemilu dikenal dengan sebutan Bawaslu kabupaten/kota adalah satu lembaga yang sama, yang memiliki tugas dan fungsi yang sama. Ia adalah sebuah lembaga independen yang bertugas mengawasi Pemilihan dan/atau Pemilu. Pembedaan penyebutan
tersebut disebabkan karena posisi Panwas kabupaten/kota dengan sifat ad-hoch dijadikan sifat kelembagaannya permanen sehingga penyebutannya menjadi badan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.

Di samping itu, hadirnya Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 pada pokoknya menyatakan bahwa Bawaslu kabupaten/kota berwenang untuk menandatangani NPHD dengan Pemda berkait penganggaran biaya pengawasan Pilkada 2020 menjadi bukti tambahan yang menguatkan maksud dan kehendak pembuat UU, baik UU Pilkada maupun UU Pemilu yang menyamakan antara Panwas kabupaten/kota dalam UU Pilkada dan Bawaslu kabupaten/kota
dalam UU Pemilu. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2019 haruslah dimaknai sebagai produk pemerintah yang tidak lain ia adalah lembaga negara yang ikut serta dalam pembuatan UU Pilkada dan UU Pemilu.
Sehingga dengan pengaturan kewenangan Bawaslu kabupaten/kota untuk menandatangani NPHD dengan Pemda yang Pilkada dalam Permendagri nomor 54 Tahun 2019 dapat maknai bahwa maksud dan kehendak pemerintah sebagai pembuat undang-undang, baik pada UU Pilkada dan UU Pemilu disamakan antara Panwas kabupaten/kota dan Bawaslu kabupaten/kota. Dengan demikian, terlihatlah bahwa Bawaslu kabupaten/kota memiliki legal standing untuk mengawasi dan menangani dugaan pelanggaran yang terjadi pada tahapan Pilkada. Ia memiliki legal standing untuk menggunakan dana hibah Pilkada 2020, termasuk memiliki legalitas untuk bertindak merekrut Panwaslu kecamatan dan PPL, dan/atau
tindakan lainnya yang diatur dalam UU Pilkada.

Kemudian lahir Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan wakil
Walikota Tahun 2020.
Pasal 8A Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan Badan Pengawas Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota yang dibentuk oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum berdasarkan Undang- Undang yang mengatur mengenai pemilihan umum.

Kemudian terakhir turun Surat Edaran Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 0410/K.BAWASLU/HK.05/XI/2019 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Pengawas Penyelenggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil dan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020, yang berisi sebagai berikut:
a. Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk melaksanakan tugas dan wewenang
pengawasan penyelenggara Pemilihan Gubernur dan Wakil dan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020 di wilayah kerja masing-
masing sesuia dengan lingkup tugas dan wewenang pengawasan sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Bawaslu Provinsi untuk melaksanakan fungsi koordinasi dengan pembinaan kepada Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan penyelenggaraan Gubernur dan Wakil dan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020 dengan bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan paraturan perundang-undangan.*)

Pos terkait