Oleh : Drs. Safruddin
Pendahuluan
Ada pelajaran menarik yang dapat diambil dari sebuah buku berjudul Lesson From The Top karangan Neff dan Citrin (1999).
Pada tahap pertama, penulis buku meminta kepada sekitar 500 orang (CEO dari berbagai perusahaan, LSM, dan Dekan/Rektor perguruan tinggi) agar mereka menominasikan 50 nama orang-orang yang menurut mereka tersukses di Amerika,
Dari mereka, akhirnya diperoleh 50 nama.
penulis buku mewawancarai 50 orang terpilih tersebut satu-per-satu. Buku tersebut selain memuat 50 hasil wawancara, juga mempunyai satu bab kesimpulan yang memuat 10 kiat sukses yang menurut 50 orang tersebut paling penting.
Tahukah Anda? Dari sepuluh kiat sukses tersebut tak satupun menyebut pentingnya memiliki keterampilan teknis alias Hardskills sebagai persyaratan untuk sukses di dunia kerja. Lima puluh orang tersebut seolah sepakat bahwa yang paling menentukan kesuksesan mereka bukanlah keterampilan teknis, melainkan kualitas diri yang termasuk dalam katagori keterampilan lunak (Softskills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (People Skills).
Kesimpulannya adalah “bagaimana menghasilkan manusia cerdas bukan manusia pintar, karena pada hakekatnya banyak orang pintar tetapi tidak cerdas di Indonesia ini”.
Hakekat Kecerdasan
Kecerdasan dibangun pada 3 aspek, yaitu Intelektual (IQ), Emotional (EQ) dan Spritual (SQ). Ketiga kecerdasan inilah yang dimiliki oleh seorang manusia. Kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ), perlu disempurnakan dengan kecerdasan spritual (SQ). Menggabungkan rasionalitas duniawi dan spirit ketuhanan akan melahirkan sikap manusia yang paripurna.
Stephen R Covey, penulis The 8th Habit From Effectiveness to Greatness yang terkenal itu menyebut spriritual intelligence sebagai pusat dan landasan paling mendasar dari semua kecerdasan, yaitu IQ dan EQ. Ary Ginanjar menyebut SQ merupakan pusat kecerdasan, di dalamnya ada God Spot sebagai pusat spiritual atau pusat orbit yang dikelilingi EQ dan IQ.
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan.
Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya, Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005).
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang*)