Bima, Jeratntb.com – Indonesia memang banyak memiliki berbagai tradisi yang unik dan menarik, mulai dari prosesi pernikahan, penyambutan tamu dan lain sebagainya.
Mungkin masih banyak orang yang belum familier dan mengenal Suku Bima. Merupakan salah satu suku yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang Mayoritas suku ini mendiami Pulau Sumbawa bagian timur tepatnya di Kota Bima dan Kabupaten Bima.
Seperti diantaranya di Desa Teta, adalah sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima.
Lambitu memiliki 6 Desa, yakni Desa Teta, Londu, Kaowa, Sambori, Kuta dan Kaboro. Dari ke 6 desa ini memiliki tradisi dan budaya yang masih melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti tradisi Aqiqah yang merupakan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah dalam rangka penebusan seorang anak.
Aqiqah juga merupakan salah satu ibadah yang akan menanamkan suatu nilai-nilai kehidupan kepada si anak yang lahir dalam keadaan suci.
Semantara itu, sejarah adanya kegiatan Asrakal Anam (aqiqah anak) di Desa Teta adalah berdasarkan Sunnah Rasulullah yang pada saat itu mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain.
Prosesi Aqiqah diawali dengan membaca Surah Al-Fatihah dan Sholawat Nabi, hal itu sesuai dengan pemaparan salah satu tokoh adat sekaligus Tetuah dan Kepala Adat Desa Teta, H. Muhammad Said, S. Pd, SD.
Diceritakannya, Sunah Rasul yang mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain kini kembali dihidupkan oleh keturunan yang ke 23 pada masa itu seorang muslim atau muftih yang bernama Jafar Bin Husain, merupakan seorang yang memiliki ilmu tingkat tinggi dalam beribadah, atau kata lain tidak diragukan lagi ahlak dan keilmuaannya.
Adapun hal yang terkandung dalam prosesi asrakal anam ini, antaranya :
- Bayi harus berumur 7 hari
- Tanah suci di sekitar area halaman atau dalam mesjid diambil lalu dinjak oleh si bayi diaqiqahakan dengan cara mengarahkan telapak kaki bayi ke arah tanah suci yang dibaluti kain putih.
“Itu memiliki arti supaya kalau dia meninggal kelak dalam keadaan yang suci dengan kalimat laailaahailallaah,” jelas Tetuah atau Ketua Adat setempat, H. Muhammad Said.
Selanjutnya prosesi gunting rambut, menurutnya rambut bayi yang baru lahir mesti harus digunting beberapa helai guna untuk membersihkan rambut sehingga menumbuhkan rambut baru.
“Tujuannya agar dosanya gugur sebanyak rambutnya yang dicukur, juga pahalanya yang didapat sebanyak rambut yang akan tumbuh kemudian,” ungkapnya.
Selain itu, ada juga emas atau salah satu jenis pohon yang buah dengan batangnya mengandung berbagai rasa seperti kecut, asam, pedas, dan lain-lain.
Tanaman itu biasa disebut Pohon Tatanga, atau biasa disebut (fu’u tatanga) dalam bahasa bimanya. Adapun fungsi dari pada emas atau pohon tatanga ini adalah untuk membersihkan mulut dan mengecapinya kedalam mulut bayi yang diaqiqah.
“Agar bayi tau arti kehidupan, pahit manis asam garamnya dalam mengarungi kehidupan untuk mencapai kemakmuran yang dilambangkan dengan emas,” jelas Tetuah.
Menurutnya itu memiliki catatan tersendiri yang dimana berat emas harus sama dengan berat bayi, namun pada jaman itu belum memiliki emas sehingga cara alternatif yang digunakan adalah pohon tatanga. “Sehingga emas dijadikan bahan, dan semua bahan itu disimpan di sebuah wadah atau lojong, lalu disimpan di depan bayi yang digendong” paparnya.
Adapun bahan yang disimpan dalam wadah tersebut, yaitu gobokan tangan yang berisi air untuk menyimpan sejumlah helai rambut bayi yang di potong, gunting, tanah dari sekitaran mesjid dan kain putih.
Pemotongan rambut harus berjumlah 5 atau 7 orang, artinya harus ganjil, dan proses pemotongan biasanya diawali oleh kepala desa setempat baru diikuti oleh stafnya, kemudia oleh tokoh agama, tokoh masyarakat serta tokoh adat.
Akan tetap, di Desa Teta sendiri aturan itu dirubah semenjak Amar Ziaudin, S. Sos menjabat sebagai Kepala Desa. Yakni, proses gunting rambut harus diawali oleh tokoh adat setempat baru kemudian di susul oleh kades dan seterusnya.
“Hal itu dimaksudkan untuk menghormati tokoh adat serta adatnya. ungkap Kades Teta atau sapaan akrabnya Jack Amar, melalui media ini.
Sementara itu, Haji ismail, A.ma. Pd. salah satu tokoh masyarakat desa setempat ditemui di kediamannya menyebutkan bahwa, kegiatan budaya Asrakal Anam (Aqiqah) hukumnya bid’ah khasanah, artinya bid’ah yang positif atau baik dilakukan.
“Sesuai rentetan sejarah seperti yang diceritakan oleh ketua adat sebelumnya, Bapak H Muhammad Said,”. Ungkap mantan Lebe Na’e lambitu ini. (Jr Arif).