Oleh: Dino Marahu
Apakah pasangan Safrudin-Ady Mahyudi adalah bagian dari mosi politik akumulatif dengan mengacu kepada pasangan pilkada sebelumnya pada tahun 2015 lalu, dengan sama-sama menganggap bahwa masing-masing kedua pasangan dulu kurang bisa memberikan hentakan dukungan publik terutama sekali para calon wakil kedua pasangan tersebut pada pilkada lalu (?), kalau itu yang dikasud, Menurut saya, Pilihan politik akumulatif itu sangat prematur sekali dalam kajian politik jaman now, sebab dukungan politik itu tidak berbanding lurus dengan dukungan dan ekspektasi publik sebelumnya seperti pasca pilkada kabupaten Bima tahun 2015 yang lalu.
Politik akumulatif itu pasti akan hadir pasca melewati demokrasi, sebab dia akan hadir dalam perbandingan-perbandingan komposisi para figther, dengan alasan jika saja pasangan ini akan berpasangan dengan itu dan seterusnya. Politik akumulatif seperti itu tidak bisa meruntuhkan rivalitas nya, karena dia tidak memilih Rakyat sebagai obyek dan subjek politik yang terus dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat jaman now.
Banyak referensi politik yang bisa kita ulas dalam proses pilkada langsung baik di Pilkada Kota maupun Pilkada kabupaten Bima. Katakanlah pilkada kota yang baru-baru ini telah di selenggarakan, seperti misalnya pasangan Lutfi-Feri yang telah memenangkan pilkada kota Bima pada periode lalu, bukan karena alasan politik akumulatif sebelumnya, apalagi pasangan tersebut belum pernah melewati pilkada sebelumnya kecuali pak wakilnya (Feri) yang juga pernah mengikuti kontekstasi pilkada dengan perolehan suara yang tidak terlalu signifikan. Itu tandanya bahwa politik itu sangat dinamis tergantung situasi dan kondisi yang ada, terlebih lagi urusan strategi dan taktik dalam merebut simpatisan dan dukungan para voters. Apalagi pasangan IDP-Dahlan dalam pilkada kabupaten Bima tahun 2015 lalu, juga tidak mempunyai referensi politik akumulatif sebelumnya karena mereka belum pernah sama sekali ikut mencalonkan diri pada pilkada. Bagaimana mungkin mereka keluar sebagai pemenang kalau tidak melakukan kajian study need ke masyarakat Bima pada umumnya, dan itu bukan hal baru bagi politisi istana dalam menempatkan serta melekatkan pribadi calon dengan masyarakat tradisional dan masyarakat Bima pada umumnya.
Menumbangkan petahana harus dengan menyihir dukungan masyarakat tradisional, menyihir bukan berarti soal megic, menyihir yang di maksud adalah merubah dan meruntuhkan soal harapan dan ekspektasi psikologi masyarakat tradisional terhadap ketergantungan masa lalu yang bersifat intuitif. Hal itu adalah sebuah tantangan politik masa kini yang harus digandrungi sebagai mana menumbuhkembangkan nilai dan harapan baru dalam kehidupan masyarakat tradisional didalam era posmodern ini. Para milenialis harus turut terlibat sebagai manifesto organik dalam menkanalisasi gerakan baru masa kini dengan tageline yang pas sesuai kondisi sosial kemasyarakatan.
Terus terang, saya belum melihat elan vitalnya sebuah tagline perubahan yang coba di usung oleh teman-teman pendukung atau tim sukses safaad, bagaimana menjelaskan kepublik soal visi perubahan yang dimaksud, kalau hanya sekeder menejelaskan niat bahwa perubahan dari kepemimpinan perempuan ke kepemimpinan laki-laki, saya rasa itu sangat kocak sekali, seolah-olah kita telah memasung hak-hak kaum perempuan dalam pentas publik dengan mengkerdilkan nilai universalitas demokrasi itu sendiri. Sebagai pribadi yang senang dalam dunia diskursus, saya berharap ada jawaban yang visibel tentang tagline perubahan itu, juga sebagai sebuah kajian ilmiah yang tengah di perdebatkan dalam setiap kesempatan terutama sekali dalam ruang-ruang social lainya (Medsos).