Ada satu hal yang kita abaikan dan luput dari sorotan terkait penyebab rusaknya hutan di daerah saat ini.
Selain program dan harga jual jagung yang menggiurkan petani, serta peralihan kewenang hutan daerah ke provinsi. Klaim lahan oleh pemegang ijin konsesi yakni PT Korea Indonesia atau biasa disebut PT Koinesia, sehingga menjadi sandungan untuk penegakan aturan terhadap pelaku perambah hutan.
Perusahaan dengan investasi puluhan milyar ini masuk ke Bima pada sekitar awal tahun 2017 dengan membawa isu program penghijauan kawasan hutan rakyat dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi untuk masyarakat kita.
Ribuan Ha lahan yang diklaim itu juga yang saat ini diduduki dan dirambah masyarakat untuk tanam jagung.
Parahnya, lahan konsesi ini sebelumnya merupakan hutan lindung dan kawasan tutupan yang tidak boleh dirusak, seperti sebagian kawanan di sekitar Dam Pela Parado dan separuh hutan parado.
Parahnya lagi, baik dinas kehutanan yang sekarang keren disebut KPH lebih lebih pemerintah daerah dan pihak hukum dalam kondisi ‘bingung’ untuk masuk.
Hutan sudah parah dan memberi dampak buruk bagi tatanan kehidupan selururuh penghuni negeri. KPH ingin mengembalikan kondisi hutan dengan program penghijaun terhalang konsesi dan ‘buta’ batas konsesi dengan tutupan, demikian pula pemerintah daerah yang sudah pasti dinding tebal yang bernama kewenangan propinsi ditambah penguasaan ijin konsesi. Akibatnya proses penegakan hukum tidak memiliki pijakan yang jelas.
Munculah kesan pembiaran.
Karena PT Koinesia bergerak seperti ‘siluman’ minim koordinasi dan pendekatan sosialisasi.
Kesimpulan saya, demi menyelamatkan kehidupan. Beberapa organ ini harus DIAMPUTASI, mulai dari usir PT Koinesia, kembalikan kewenangan hutan ke daerah dan alihkan konsentrasi masyarakat ke usaha ekonomi produktif.
Pimred PT Media Jerat NTB
Suharlin, S.Sos